Sabtu, 17 Juli 2010

PEBISNIS BESAR SELALU BERASAL DARI LAPANGAN


           Alangkah indah suasana rumah tatkala Johan, sebut saja namanya begitu, tiba di rumahnya dari belajar di Amerika Serikat, belasan tahun silam. Ayahnya menyelenggarakan pesta kecil menyambut dia, Ibunya memberika sekantung emas, pacarnya memberi seikat kembang, dua adiknya memberi lima kemeja kesukaannya.

          Johan tiba-tiba merasa menjadi putra mahkota dari sebuah korporat besar. Apalagi sang ayah, yang mengundang 30-an kerabat dekat mengumumkan bahwa Johan diproyeksikan menggantikan posisi ayahnya sekian tahun mendatang. Setelah pengumuman itu, perasaan Johan membucah. Ia mendapat ucapan selamat dari mana-mana, pelukan sayang dari pacarnya, seorang wanita karir yang amat rupawan. Wanita ini pun termasyur sebagai wanita hebat. Kuliah S3 wanita ini di sebuah universitas di Inggris, dan ia memperoleh yudisium summa cum laude.
          Kurang hebat apa? Keesokan harinya, Johan datang ke salah satu proyek ayahnya. Ia mengendarai mobil balap hadiah ayahnya. Ia pun tak lupa mengenakan jas dan dasi. Sedikit parfum agar lebih asik bertemu dengan mitra bisnis.
          Akan tetapi ayahnya tertawa ketika melihat penampilannya yang tentu ganjil di sebuah proyek yang bergelimpang debu. “Engkau pulang dulu ke rumah dech,” ujar ayahnya, kali ini dengan raut serius. “Copot itu jas. Lepas itu dasi dan kemeja mahal. Lalu datang lagi kesini dengan angkot. Engkau cukup pakai oblong, jins dan sepatu kets. Hehehhe, ini bukan Amerika, Ananda.”
          Johan lalu pulang dengan penuh rasa malu. Disepanjang perjalanan, Johan yang sangat terpukul oleh sikap Ayahnya, melarikan mobilnya dengan kecepatan 150 km per jam. Tiba di rumah ia membanting tubuhnya ke kasur. Ada dua butir air mata menggantung di pipinya. Ibunya, yang amat menyayangi anak muda ini datang menghampiri. Sang Ibu yang agaknya tahu duduk soal, membujuk Johan untuk memenuhi permintaan ayahnya. Kata Sang Ibu, “Tidak ada seorang pun usahawan besar yang menetas di tempat tidur, Mereka semua lahir dan besar di lapangan.” Ibu yang bijak ini, membakar spirit anaknya penuh kelembutan.
          Akhirnya Johan bangkit dan memenuhi permintaan ayahnya. Ia bertolak ke lokasi proyek sambil naik angkot, mengenakan sepatu kets dan oblong. Tanpa banyak cakap, ia berbaur dan bekerja dengan para karyawan lain. Ia bergelimang debu, dipanggang terik matahari, dan makan di barak bersama karyawan rendahan. Tiga tahun kemudian, ia mewujud menjadi anak muda dengan rambut kusut dan kulit gelap. “Kalau sedang terik, heheheh, saya seolah merasa matahari itu jumlahnya delapan, bukan satu.”
          Akan tetapi setelah masa tiga bulan itu, Johan mampu beradaptasi dengan amat baik. Ia bisa menerima kenyataan dan amat rajin bekerja. Usai proses lapangan ini, ayahnya membuat pesta kecil lagi di rumah. Kali ini terdapat 50 usahawan besar diundang datang. Pada saat itulah Johan diumumkan sebagai pengganti ayahnya. Si Ayah memilih menjadi komisaris utama dan kursi direktur utama diberikan kepada Johan.
          Kali ini suasanannya lain. Johan menerima tanggung jawab itu dengan penuh tanggungjawab, ia tidak larut dalam hingar bingar pesta. Dalam sabutan singkat, Johan menyampaikan rencana-rencananya yang besar. Hadirin bertepuk tangan dan memberinya selamat.
          Tujuh tahun setelah peralihan tampuk eksekutif ke tangan generasi kedua ini, korporat tersebut berkembang jauh lebih hebat. Pertumbuhan keuntungan tidak lagi rata-rata 20 persen, tetapi 38 persen. Ayah Ibunya bangga luar biasa, dan selalu memeluk anaknya dengan penuh syukur. Mereka senantiasa pula bersyukur kepada Yang Maha Pencipta.
          Dalam percakapan dengan penulis, si Ayah, menyatakan lapangan adalah areal penempaan yang amat berfaedah. “Saya sampaikan kepada Anda, manjakanlah anak dengan Cinta serta kejujuran. Jangan manjakan anak kita dengan harta dan fasilitas yang menyesatkan.”
          Pria 62 tahun ini menuturkan, beri anak-anak kita dengan bekal budi perkerti, sikap setia kawan, kepintaran menggunakan uang secara proposional, dan mengenal dunia bisnis secara nyata. Ini semua hanya bisa ditentukan dari transfer pengalaman dan makan asam garam pekerjaan lapangan. Didik anak dengan disiplin, dan bimbing mereka agar naluri bisnisnya terasah sangat baik.
          Johan sendiri sangat bersyukur ayah ibunya selalu memberi ia bekal cinta dan pengalaman lapangan. Ia bersyukur diajari ayahnya tentang bela rasa sehingga ia sensitif terhadap penderitaan sesama. Lebih dari itu, pengalaman di lapangan itu membuat ia matang dan dapat memimpin perusahaan besar secara baik dan benar. Anak buahnya tidak menipu dia karena ia lahir dan besar di lapangan.








(cerita ini diambil dari Kompas, Rabu, 14 Juli 2010)

Jumat, 16 Juli 2010

“Behind The Lens”


Hobi fotografi adalah hobi yang amat sangat menarik untuk kita pelajari dan tekuni, apalagi dengan membidik  kamera profesional atau pun poket,  kita dapat membuat objek tersebut menarik untuk dipandang atau malah sebaliknya. Hal ini membuat saya berminat mendaftar dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh Pekerja Muda Katolik St. Theresia Gereja Menteng . Dimana acara tersebut akan diselenggarakan pada hari Minggu, 10 Juli 2010 dengan kegiatan mengunjungi 3 (tiga)  Klenteng  yang ada di Tangerang-Propinsi Banten berikut komunitas Cina-Bentengnya. Tema yang kali ini mereka ambil adalah “Behind The Lens” , yang artinya dibelakang lensa kita dapat menentukan ojek mana yang menarik untuk kita bidik.   
Minggu  pagi  sesuai dengan jadwal yang telah saya janjikan bersama Dita dan Reni, kami bertolak dari St. Klender Baru jam 5.20 WIB, dengan menaiki Kereta Ekonomi AC menuju ke Stasiun Beos-Kota. Dimana Rencanannya kita semua akan berkumpul jam 7.00 WIB di St. Beos – Kota untuk nanti bersama-sama berangkat naik kereta api ke Tangerang-Banten.  Sudah satu jam kita   menunggu mereka, membuat perut ini terasa keroncongan dan keputusan jatuh pada  A&W depan St. Beos-Kota,  maklum tadi pagi kita semua belum sempet sarapan
Pukul 6.55 WIB lagi enak-enaknya kami menyantap makanan, satu persatu panitia dan peserta  berdatangan, dan langsung meregistrasikan peserta yang hadir.  Disana tidak sengaja saya bertemu dengan temen satu kantor saya Aris, Sari dan solmatenya, juga agus tri . Kenapa juga ya Sari dan Solmetnya dateng? Hut KKMK aza nggak mau dateng, acara orang dateng... kenapa juga ya saya sering sekali ketemu dengan agus tri?  Disetiap acara selalu bertemu  dengan dia.
Setelah mengisi daftar hadir kita semua dibagikan name tag, snack dan aqua serta langsung dibagi masing-masing kelompok. Saya bersama Dita, Reni, dan Kristin menjadi satu kelompok yaitu kelompok V dengan anggota lainnya yaitu Dendy, Kiki, Romanus dan Tian (sebagai ketua kemompok). Yang unik dari kelompok kami ini  adalah semua berkacamata dan berbaju hitam kecuali saya dan tia menggunakan baju warna kuning. Kelompok kami paling rame maklum cewek-ceweknya heboh-heboh atau kata si Dendy “tante-tante heboh.....” hehehhe.... dasar Brondong.
Pukul 7.30 WIB kereta api  Exspres bertolak dari Jakarta-Kota munuju ke Tanggerang-Banten, didalam kereta panitia memberikan info kepada peserta bahwa kita harus memoto arsitektur dari bagunan dan manusia yang ada didalamnya serta disana kami semua akan mengunjungi  3 (tiga) candi/klenteng dan perkampungan Cina-Benteng. Didalam kereta masing-masing peserta memperkenalkan diri, kemudian memoto dan memgungkapkan apa yang unik dari orang yang sudah memperkenalkan diri.
Sesampainya kami di stasiun tangerang, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan mobil angkot yang sudah dicharter oleh panitia. Perjalanan pertama kami ke Klenteng Bun Tek Ion yang berdiri  tahun 1684 dan tergolong klenteng tertua, disana kita tidak sendirian karena ada kelompok II yang ikut bersama-sama dengan kita. Jalan menuju Klenteng Bun Tek Ion tidak terlalu jauh, di sepanjang perjalanan menuju klenteng tersebut kita melewati pasar tradisional. Disana banyak terdapat macam-macam makanan termasuk sate ular... iiiihhhhhh....
Setelah selesai sesi pemotretan di Klenteng Boen Tek Bion, kami semua berjalan menyusuri pasar menuju ke perkampungan Cina-Benteng. Disana banyak sekali bangunan-bangunan tua yang sudah berdiri ratusan tahun, dan terletak di sebelah timur sungai Cisadane yang merupakan perkampungan padat penghuninya.
 Perjalanan selanjutnya ke Klenteng Boen san Bio dan Klenteng Tjok Tek Bio, disana juga kita semua langsung turun dan hunting-hunting objek-objek yang menarik didalam klenteng tersebut. Tapi yang namanya tim Narzis tetep nggak ketinggalan selain memoto objek, kita memaksa orang-orang lain untuk memoto kita juga.. hehhehe... dasar nggak dimana-mana tetep bawaannya foto terus rek...
Tanpa terasa waktu menunjukan pukul 12.00 WIB saatnya perut ini minta diisi, jadi kita semua digiring panitia untuk makan dirumah makan sunda. Sesampainya disana kami tetep dikumpulkan berdasarkan masing-masing kelompok, dan panitia memberikan kami tugas untuk menyusun gambar-gambar yang sudah di potong-potong menjadi satu kesatuan yang utuh. Mereka juga mengatakan bahwa masing-masing kelompok diminta untuk mengumpulkan hasil foto terbaiknya  diantara yang paling baik... (udah kaya mau pilih suami za...).
Tapi amat sangat disayangkan disana menunya Ayam rek... tau sendiri saya khan anti makan ayam dalam bentuk apa za, so jadi hanya makan tahu dan tempe, itu yang membuat beberapa teman-teman merasa kasian dengan saya. “Habis mau bagaimana lagi kawan, saya tidak suka menu satu itu... hiks..hiks...” nasib rek...
Selesai makan ada satu orang pembicara yang sudah ditunjuk oleh panitia, beliau kuliah fotografi dari Trisakti. Dan katanya ada beberapa pandangan mengenai fotografi, ada yang mengatakan fotografi adalah bahasa gambar, hasil terakhir dari bentuk tertua komunikasi percetakan. Berbeda dengan kata-kata yang diungkapkan dan ditulis, ia adalah bentuk komunikasi yang dapat dipahami oleh kita. Dan untuk menentukan gambar itu baik apa tidak kita dapat menggunakan dengan cahaya.  Tapi yang perlu ditekankan bahwa indikator dalam memoto dengan baik adalah :
1.       Komunikasi Pesan
2.       Teknis
3.       Estetika dan Artistik
4.       Presentasi

Sedangkan hal yang utama dalam hal memoto adalah cahaya yang bisa diterima masuk kedalam gambar. (itu sekilas yang saya dengar dari pembicara...). sedangkan Tian (ketua Kelompok V) sekaligus pendamping fotograer profesional mengatakan “Objek yang diambil dalam memoto adalah objek yang menarik misalnya ada laut dan awan, jadi diambil mana yang lebih menirik dan mempunyai nilai seni yang bagus”. Dan Tian juga menambahkan “jangan pernah berhenti untuk memoto hal-hal yang menarik”.
Tapi amat sangat disayangkan ternyata kita nggak sampai habis, karena dita memaksa pulang katanya pulangnya bisa malam. Hugh... dia mah nggak bisa liat orang seneng barang sebentar za ya, atau nggak rugi apa udah keluarin Rp. 100.000,- hanya cuman hunting-hunting dan tidak mendengarkan apa yang diterangkan oleh pembicara itu.
Walau bagaimana pun ini adalah pengalaman yang tidak bisa saya lupakan di pertengahan Bulan Juli 2010, diamana ternyata saya mengisinya dengan bermacam-macam kegiatan. Walaupun hanya sebentar tapi ada sedikit pengalaman yang saya petik disana. Dan mudah-mudahan ini sangat bermanfaat bagi hobi saya selanjutnya yaitu fotografi. Amin